Jauh sebelum pemerintah Indonesia mencanangkan pendidikan gratis, sebuah sekolah di Semarang, Jawa Tengah sudah terlebih dulu melakukannya.
Sekolah itu adalah TK dan SD Kuncup Melati yang berada di bawah pengelolaan Yayasan Kong Kauw Hwee dan sudah memberikan pendidikan gratis untuk warga tidak mampu selama hampir 60 tahun.
Konsistensi sebuah yayasan swasta memberikan pelayanan pendidikan gratis inilah yang menggelitik BBC Siaran Indonesia untuk membuktikan sendiri kebenarannya.
Apakah sekolah Kuncup Melati benar-benar memberikan pendidikan gratis atau hanya isapan jempol semata? Untuk membuktikan kebenaran berita ini maka awal bulan ini BBC Siaran mengunjungi sekolah itu.
Di satu siang yang terik, saya akhirnya tiba di Jl Lombok, kawasan pemukiman warga Tionghoa di Semarang. Di kawasan inilah sekolah Kuncup Melati berada. Sekilas sekolah ini memang tak berbeda dengan sekolah-sekolah lain pada umumnya.
Gedung sekolah berlantai tiga ini terdiri atas ruang-ruang kelas, kantor guru, perpustakaan dan ruang serba guna. Karena terdapat taman kanak-kanak di lokasi yang sama maka di halaman terlihat sejumlah alat permainan anak-anak.
Di sekolah ini, saya disambut sang kepala sekolah Agustin Indrawati Darmawan. Bersama dia kemudian saya diajak melihat-lihat kegiatan di sekolah ini.
| |
Para murid tengah berdoa sebelum memulai pelajaran |
Kebetulan sekali, saya datang pada saat pelajaran akan dimulai. Bersama Ibu Agustin, saya singgah di kelas empat dan di kelas itu anak-anak sedang bersiap untuk berdoa.
Saya sempat terkejut saat diberitahu bahwa anak-anak tersebut membacakan doa yang biasa dibacakan umat Hindu. Dan memang anak-anak melafalkan doa yang terdengar seperti bahasa Sansekerta dibarengi gerakan tangan yang berubah-ubah mengikuti kalimat-kalimat doa.
Sayangnya Ibu Agustin tidak mengetahui alasan mengapa sekolah itu menggunakan doa agama Hindu untuk memulai atau mengakhiri sebuah hari.
"Saya hanya menerima estafet dari pendahulu saya. Jadi saya tidak tahu persis alasan penggunaan doa umat Hindu ini."
"Tapi sejauh ini tidak ada orang tua murid yang keberatan. Saat kali pertama mereka memasukkan anak-anaknya di sini, kami memberikan pengarahan. Dan, toh tidak ada doa yang kata-katanya jelek kan?" ujar Ibu Agustin.
Kejutan belum berakhir. Di sebuah ruangan tak jauh dari kelas empat yang tadi kami kunjungi, sekelompok murid tengah berlatih paduan suara. Dan lagu yang mereka bawakan adalah Indonesia Pusaka karya Ismail Marzuki namun dinyanyikan dalam dua bahasa, bahasa Indonesia dan bahasa Mandarin.
"Di sekolah ini kami memberikan pelajaran bahasa Mandarin sejak bangku kelas satu. Meski wajib namun mata pelajaran bahasa Mandarin hanya bagian dari ekstra kurikuler saja."
"Tujuan kami memberikan pelajaran bahasa Mandarin adalah memberik bekal bagi anak-anak. Siapa tahu ilmu itu berguna bagi kehidupan mereka kelak," tandas Ibu Agustin yang hampir 30 tahun mengajar di sekolah itu.
Tak dipungut biaya
| |
Belajar di Kuncup Melati tidak dipungut biaya sepeserpun |
Namun, yang menjadi ciri khas sekolah ini adalah semua peserta didik tak dipungut biaya sepeserpun. Benarkah demikian? Saya mencoba bertanya pada beberapa siswa.
Saya menemukan Josepine, siswi kelas enam yang orang tuanya adalah penjual mie ayam. Apa pendapat Josepine soal sekolahnya ini?
"Sekolahnya gratis dan maju. Ada pelajaran bahasa Inggris, Mandarin, sempoa," kata Josepine.
Lain lagi pengakuan Segoro, juga siswa kelas enam. Ayah Segoro adalah seorang tukang parkir dengan penghasilan pas-pasan.
"Di sini sekolahnya gratis. Aku dapat buku, tas, sepatu, seragam, pulpen dan tempat pulpen," kisah Segoro.
Predikat gratis ini, tentunya menarik minat warga tidak mampu untuk mendaftarkan anak-anak mereka. Dengan kapasitas sekolah yang terbatas maka sekolah Kuncup Melati melakukan seleksi.
"Prioritasnya tetap anak-anak yang sekolah di TK Kuncup Melati, setelah itu baru yang lain,"papar Kepala Sekolah SD Kuncup Melati Agustin Indrawati Darmawan.
"Syarat utamanya harus ada surat pernyataan tidak mampu dari kelurahan dan syarat lainnya sama seperti sekolah-sekolah lain."
"Sekolah kami berjanji tidak menarik uang sepeserpun, kami pinjami buku pelajaran dan untuk seragam, kalau orang Jawa bilang ndilalah selalu ada yang menyumbang."
Awalnya kursus membaca
| |
Rumah ibadah dekat Sekolah Kuncup Melati |
1 Januari 2010, sekolah Kuncup Melati genap berusia 60 tahun. Dan selama enam dekade itu pula sekolah ini tidak pernah menarik bayaran sepeserpun dari para peserta didiknya.
Keunikan lain adalah meski sekolah ini berdiri di kawasan Pecinan, namun sebagian besar siswanya datang dari etnis non Tionghoa.
Sebenarnya bagaimana asal usul sekolah Kuncup Melati ini? Untuk mendapatkan jawabannya saya menemui sekretaris Yayasan Kong Khau Hwee Eko Wardojo. Yayasan ini adalah pengelola sekolah Kuncup Melati.
Eko Wardojo menjelaskan seklah ini berawal dari Yayasan Khong Kauw Hwee yang berdiri pada 24 September 1935. Pada awalnya yayasan ini hanya memberi kursus pemberantasan buta huruf.
"Pada awalnya para pendiri yayasan melihat para pengungsi (perang) terutama anak-anak mereka butuh pendidikan. Ide ini kemudian direalisasikan sebagai kursus pemberantasan buta huruf."
"Karena awalnya tujuannya hanya agar anak-anak bisa membaca, maka sistem pendidikannya setahun dibagi dua. Awalnya ada 60 peserta," papar Eko.
Pada 1 Januari 1950, Yayasan Kong Kauw Hwee resmi mendirikan sekolah dan dua tahun kemudian sekolah ini mengadaptasi kurikulum sekolah rakyat.
"Sehingga pada tahun 1979, sekolah ini sudah memiliki murid hingga kelas enam. Ini sebuah kemajuan pesat dan sejak awal hingga saat ini sekolah Kuncup Melati tidak menarik bayaran sepeserpun, mulai SPP hingga seragam digratiskan," tandas Eko Wardojo.
Bagaimana Yayasan Kong Kauw Hwee bisa konsisten memberikan pelayanan pendidikan gratis selama hampir 60 tahun.
"Konsistensi ini lebih karena kepedulian melihat banyaknya warga tidak mampu membuat sebagian dari kami yang mampu menyisihkan kekayaannya untuk mendukung sekolah ini."
Namun, Eko Wardojo mengaku tidak mengetahui siapa saja yang menjadi penyumbang atau berapa besaran sumbangan mereka. Dia hanya meyakini donatur tak hanya berasal dari perorangan namun juga dari beberapa perusahaan besar.
Selain itu, lanjut Eko, niat baik Yayasan Kong Kau Hwee juga diperkuat dengan sebuah perjanjian hukum. Yayasan Kong Kauw Hwee terikat perjanjian dengan Yayang Kong Tek Su, sebagai pemilik gedung dan tanah yang kini ditempati sekolah Kuncup Melati.
"Dalam pasal lima akte perjanjian itu dikatakan bahwa Yayasan Kong Tek Su memberikan hak kepada Yayasan Kong Kauw Hwee untuk menggunakan gedung
tersebut secara cuma-cuma dalam penyelenggaraan sekolah."
Namun, hak penggunaan cuma-cuma ini dibebani sebuah syarat dan ketentuan yaitu:
"Tidak memungut biaya apapun juga dari para murid atau orang tua murid seperti misalnya uang gedung, uang sekolah atau lainnya. Sehingga jika ketentuan itu dilanggar maka perjanjian pakai itu batal tanpa perantaraan hakim dan gedung harus dikosongkan dalam jangka waktu tiga bulan."
Dengan niat baik ditambah dilandasi sebuah perjanjian hukum maka konsistensi pelayanan pendidikan gratis ini bisa terus berlangsung. Bahkan kini Yayasan Kong Kauw Hwee tengah mempersiapkan pendirian sekolah menengah pertama yang diharapkan juga bisa memberikan pelayanan gratis bagi warga tidak mampu.